Merti Dusun Cerme

Di wilayah Desa Selopamioro terdapat upacara adat yang diselenggarakan di pelataran Goa Cerme yang disebut upacara Perti Dusun. Kata "perti dusun" berasal dari kata petri (memayu, memetri, memerti) yaitu mempercantik, memperindah, dan melestarikan.  Betrikania, kalian pasti mau tahukan bagaimana asal mula tradisi Perti Dusun Cerme dan bagaimana prosesinya ? simak selengkapnya diartikel berikut ini ya.


Upacara adat ini berangkat dari legenda sejak zaman Hindia Belanda dulu. Konon, Baginda Raja Harnaya Rendra dari Kerajaan Giringlaya, sedang sedih karena musibah yang menimpa rakyat Nusantara. Gejolak alam yang maha dahsyat telah menimbulkan wabah penyakit, kekeringan, kelaparan di seluruh negeri. Tahun 387 Saka, atas nasehat punggawa, maka beliau meminta pertolongan pada Resi Hadidari dari Desa Ngandong Dadapan. Resi ini kemudian menyarankan agar seluruh penduduk desa membersihkan segala sesuatu dengan teliti pada awal tahun. Setelah itu, keadaan negeri menjadi membaik.

Berdasar legenda tersebut, masyarakat membuat upacara keagamaan yang disebut perti dusun, atau bersih dusun sebagai persembahan bagi penguasa pertama atau cikal bakal desa tersebut. Namun juga disebut-sebut berkaitan dengan Para Wali Sanga yang pertama kali memberi nama Goa Cerme. Berdasarkan mitos yang tersebar di masyarakat, Goa Cerme dahulu pernah digunakan sebagai tempat musyawarah Wali Sanga dalam pengembangan agama Islam di Jawa dan untuk pendirian Masjid Demak.

Para Wali memilih Goa Cerme untuk musyawarah karena di tempat inilah surban Wali ditemukan. Konon ketika Sunan Kalijaga pergi ke tanah suci untuk mengambil air Zam-zam, beliau teringat bahwa tanah leluhurnya di Jawa tidak dijumpai sumur zam-zam. Setelah memohon kepada Yang Maha Kuasa, Sunan Kalijaga melepas surban dan dicuci di air zam-zam dan kemudian surban itu dilempar ke arah tanah Jawa dengan harapan bahwa tempat yang kejatuhan surban tadi terdapat mata air yang disebut zam-zam.

Setelah pulang haji, Sunan Kalijaga mencari surban itu dengan berkeliling dari Jawa Timur hingga Jawa Barat dan menuju ke selatan hingga tiba di suatu goa di mana surban itu ditemukan. Awalnya goa tadi diberi nama Goa Cermin, tapi kemudian lebih dikenal dengan sebutan Goa Cerme. 

Peralatan yang dipakai untuk membawa sesaji, awalnya, menggunakan jatingarang. Kemudian sekarang diubah dengan cara dipikul menggunakan jodhang. Khusus untuk tempat nasi udhuk, awalnya digunakan penaron dari tanah liat atau dengan tanggal dari anyaman bambu. Sekarang, masyarakat menggunakan besek dari anyaman bambu dan dos dari kertas untuk nasi dan lauk pauknya.

Sore hari sebelum upacara, masyarakat berdatangan ke Makam Srunggo untuk berdoa dan tabur bunga. Setelah sholat Isya, diadakan tahlilan atau yasinan hingga larut malam. Bagi para perempuan, mereka memasak dan menyiapkan sesaji. Ada yang membuat golong, menata sesaji ke tempat jodhang, membuat takir, dan sebagainya. 

Setelah semua siap, semua sesaji dibawa ke pelataran Paseban Goa Cerme dengan urutan pembawa jodhang dan diikuti penduduk yang berpakaian adat dan membawa dua buah dos yang berisi sesaji. Acara utama di pelataran Paseban tersebut adalah berdoa bersama yang dipimpin oleh Kaum atau Rois setempat. Kemudian dilanjutkan dengan penanaman kepala kerbau yang dibungkus kain mori dengan dibantu oleh Juru Kunci. Setelah seluruhnya selesai, acara dilanjutkan dengan makan bersama atau dhahar kembul. Di pelataran juga diadakan hiburan rakyat berupa jathilan, salawatan, dan pada malam harinya digelar wayang kulit semalam suntuk.


0 comments:

Post a Comment